TOLERANSI DAN HAKIKAT MENYERUPAI ORANG KAFIR
TOLERANSI DAN HAKIKAT MENYERUPAI ORANG KAFIR Tinggal di negara kafir merupakan bahaya besar terhadap agama, akhlak, moral dan adab seorang muslim. Kita -juga selain kita- telah menyaksikan banyaknya penyimpangan dari orang-orang yang tinggal di sana, mereka kembali dengan kondisi yang tidak seperti saat mereka berangkat. Mereka kembali dalam keadaan fasik, bahkan ada yang murtad, keluar dari agamanya dan menjadi kufur terhadap Islam dan agama-agama lainnya, na’udzu billah, sampai-sampai mereka menentang secara mutlak dan mengolok-olok agama dan para pemeluknya, baik yang lebih dulu darinya maupun yang kemudian. Baca selengkapnya Haruskah Memuji dan Memberi Sanjungan Orang Kafir? https://almanhaj.or.id/131864-haruskah-memuji-dan-memberi-sanjungan-orang-kafir.html Toleransi dan Hakikat Menyerupai Orang Kafir https://almanhaj.or.id/132203-toleransi-dan-hakikat-menyerupai-orang-kafir.html Hukum dan Syarat Tinggal Di Negara Kafir https://almanhaj.or.id/132044-hukum-dan-syarat-tinggal-di-negara-kafir.html 🎬 Video Pendek :: Tidak Boleh Berbicara Takfir dengan Hawa Nafsu dan Tanpa Ilmu Karena Akan Mendatangkan Bahaya Besar :: https://youtu.be/2FRAMW7CdBc ::Orang Yahudi dan Nasrani Tidak pernah berhenti Untuk Memurtadkan ummat Islam:: https://youtu.be/nnDoIFfFSfs Tolong dibaca dan dengarkan sampai selesai, dan silahkan dishare. Mudah-mudahan bermanfaat dan mudah-mudahan Allah Ta’aala memberikan Hidayah Taufiq kepada kaum muslimin untuk memahami Agama yang benar dan beramal dengan Ikhlas karena Allah dan Ittiba’ kepada Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam. Jazaakumullahu khairan.
|
Apa Itu Hadits Qoth’iyyatus Tsubut (Valid)?
Apa Itu Hadits Qoth’iyyatus Tsubut (Valid)? Pertanyaan Saya bertanya tentang hadits-hadits qothiyyatus tsubut (valid) sesuai dengan pamahamanku yang tidak diragukan bahwa Nabi sallallahu’alaihi wa salam mengucapkannya kemudian apakah mungkin kita sebutkan tanpa menyebutkan sanadnya? Kemudian saya bertanya tentang teks yang diisyaratkan kepada pembohong bermata satu maksudunya al-masih Ad-Dajjal. Karena pertama kali, yang tertangkap dalam benak saya kepada Sayyidina Nabi Isa. Kemudian kepada pembohong ini (al-masih Ad-Dajjal). Padahal saya tahu bahwa teks itu ada pada Bukhori. Jika ada orang yang mengatakan, “Kalimullah (Yang pernah diajak bicara dengan Allah) kemudian diikuti seperti ini, manjadikan saya berhenti sejenak (tawaquf). Teks Jawaban Alhamdulillah. Pertama: Hadits-hadits qothiyyatus tsubut (valid) maksudnya adalah hadits-hadits yang telah dipastikan kebenarannya yang disandarkan kepada Nabi sallallahu’alaihi wa sallam. Hal itu ada empat macam: Pertama: Hadits-hadits Mutawatir Hadits mutawatir adalah apa yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang mana mereka tidak mungkin bersepakat dan bersamaan untuk berbohong dalam semua tingkatan sanadnya. Silahkan melihat perincian dari pengertian hadits mutawatir serta pembagiannya di jawaban soal no. (34651). Kedua: apa yang dikeluarkan oleh Bukhori dan Muslim dimana umat telah menerimanya. Hal itu termasuk beberapa hadits ringkas yang telah dikeluarkan oleh keduanya dalam shahihnya dimana sebagian para ulama’ memperbincangkannya. Selain dari itu maka hadits-haditsnya qothiyyatus tsubut menurut pendapat terkuat dari perkataan ahli ilmu. Berdasarkan indikasi-indikasi dan ditunjukkan dengan konsensus (ijmak) ummat dan mendapatkan penerimaan sempurna. Ibnu Sholah rahimahullah berpendapat dalam ‘Muqoddimahnya (hal. 28-29) mengatakan bahwa hadits- hadits yang ada di shahihain (dua kitab shahih /Buhori dan Muslim) telah tegas akan keshahihannya yang mempunyai manfaat ilmu yakin, karena umat bersepakat akan keshahihannya hadits-hadits yang ada dalam Shahihain. Sementara umat ketika berijma’ (konsensus) maka terjaga dari kesalahan Hanya sedikit hadits saja dari hadits-hadits shahihain dimana sebagian ahli ilmu mengkritisinya seperti Daroqutni dan lainnya. Maka Imam An-Nawawi rahimahullah memberikan catatan dalam kitab ‘At-Taqrib’ seraya mengatakan, “Syekh menyebutkan bahwa apa yang diriwayatkannya atau dari salah satunya itu tegas akan keshahihannya. Dan mendapatkan ilmu yang qoth’i (pasti). Sementara para peneliti dan kebanyakan (ulama’ hadits) berbeda pendapat dengannya. Seraya mengatakan, “Hal itu mempunyai manfaat dzon (persangkaan) selagi belum mutawatir.” (Tadribur Ruwat, 1/141). Sekelompok dari kalangan para ulama peneliti hadits mengambil pendapat Ibnu Sholah sementara An-Nawawi rahimahullah berbeda pendapat dengannya. Suyuthi rahimahullah mengatakan, “Dan Ibnu Abdus Salam mengkritisi pendapata Ibnu Sholah.” Al-Balqoni berkata, “Apa yang dikatakan oleh An-Nawawi dan Ibnu Abdus Salam serta orang-orang yang mengikutinya itu terlarang. Dimana telah dinukil dari sebagian para Penghafal (hadits) muta’akhirin (kalangan ulama’ zaman akhir) seperti pendapat Ibnu Sholah dari jama’ah Syafiiyyah seperti Abu Ishaq, Abu Hamid Al-Isfirayini, Qodhi Abi Toyyib, dan Syekh Ibnu Ishaq As-Syairozi dan dari As-Sarkhosyi dari Hanfiyah, dan Al-Qodhi Abdul Wahhab dari Malikiyah serta Abu Ya’la, Abu Al-Khotib dan Ibnu Az-Zaguni dari Hanabilah. Dan Ibnu Fauraq, serta kebanyakan dari ahli kalam dari Asy’ariyah, dan hampir semua pakar hadits, dan mazhab salaf secara umum mereka menegaskan dengan hadits yang diterima umat dengan penerimaan sempurna. Syeikhul Islam maksudnya Ibnu Hajar- ‘Apa yang disebutkan An-Nawawi dalam Syarh Muslim dari sisi mayoritas. Sementara para peneliti, maka tidak seperti itu. Dimana para peneliti juga sependapat dengan Ibnu Sholah. Dikatakan dalam kitab ‘Syarh An-Nukhbah (maksudnya Ibnu Hajar),”Khabar (hadits) yang diikuti dengan indikasi-indikasi (qoroin) itu mempunyai faedah ilmu berbeda dengan orang yang tidak menerimanya akan hal itu. Dia berkata, ”Hal itu banyak ma
|
Baiat dan Warisan Abu Bakar dan Umar Antara Ali dan Fatimah
BAIAT DAN WARISAN ANTARA ABU BAKAR DAN UMAR DALAM SATU SISI DAN ANTARA ALI DAN FATIMAH DARI SISI YANG LAIN Pertanyaan Bagaimanakah perbedaan yang sebenarnya antara Ali dan istrinya –radhiyallahu ‘anhuma- dan antara Umar dan Aisyah –radhiyallahu ‘anhuma-? Jawaban Alhamdulillah. Pertama: Tidak ada perbedaan aqidah di antara para sahabat, bahkan tidak juga dalam metode menyimpulkan dalil, mereka adalah sebaik-baik masa, sebagaimana yang telah disabdakan oleh yang jujur dan dapat dipercaya –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, hubungan sebagian mereka dengan sebagian yang lain lebih tinggi dengan apa yang dituduhkan oleh kelompok Rafidhah, bukti yang paling nyata adalah di antara mereka saling menjalin hubungan perbesanan, juga penamaan anak-anak mereka dengan nama-nama para pembesar sahabat. Jika kita pindah pada masalah pertanyaan di atas, kami berpendapat: “Umar bin Khattab telah menikah dengan putrinya Ali bin Abi Thalib dan Fatimah, yaitu; Ummu Kultsum! Dan di antara nama anak-anak Husain adalah Abu Bakar dan Umar!, inilah kenyataannya. Adapun perbedaan yang terjadi antara Fatimah –radhiyallahu ‘anha- dan Abu Bakar ash Shiddiq –radhiyallahu ‘anhu- maka yang benar adalah Abu Bakar, karena Fatimah menginginkan warisan dari ayahnya, yaitu; Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka Abu Bakar menjelaskan bahwa para Nabi tidak mewariskan, demikianlah yang pernah beliau dengar dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan tidak ada bagian tertentu untuk Abu Bakar, karena Allah sudah menjadikannya kaya dengan harta, beliau melarang ‘Fatimah untuk mendapatkan warisan sebagaimana beliau juga melarang ‘Aisyah yang merupakan istri Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, keputusan tersebut tidak didorong karena hawa nafsunya, juga tidak ada permasalahan tertentu yang menyebabkan adanya permusuhan antara Fatimah dan Abu Bakar, Ali –radhiyallahu ‘anhu- lebih memperhatikan istrinya Fatimah untuk meringankan kesedihannya setelah ditinggal ayahandanya, dan menghiburnya untuk tidak mencela Abu Bakar karena melarangnya untuk mendapatkan warisan dari ayahnya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Itu sebabnya beliau menahan diri untuk tidak mendatangi Abu Bakar –radhiyallahu ‘anhu- untuk membaitnya semasa hidupnya Fatimah setelah wafatnya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- selama enam bulan, dan karena sebab lain, yaitu; menurut pendapat beliau (Ali) para sahabat terlalu dini untuk urusan khilafah dan baiat, dan beliau harapannya agar diajak bermusyawarah, dan hadir dalam urusan tersebut, sedangkan pendapat para sahabat yang lain sebaliknya. Ketika Fatimah meninggal dunia dan telah dikuburkan, beliau (Ali) memuraja’ah dirinya dan meminta Abu Bakar untuk pergi kerumahnya, maka beliau mendatangi undangannya, dan Ali menjelaskan tentang alasannya terlambat untuk membaiatnya, kemudian Abu Bakar tetap pada kebenaran sikapnya bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak mewariskan, maka hati Ali –radhiyallahu ‘anhu- menjadi tenang, lalu keduanya sepakat untuk berbaiat pada waktu dhuhur hari itu juga, dan Ali membaiatnya, maka umat Islam sangat bahagia dengan kejadian tersebut. Inilah redaksi haditsnya dengan lengkap: عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَام بِنْتَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَتْ إِلَى أَبِي بَكْرٍ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْهِ بِالْمَدِينَةِ ، وَ ” فَدَكٍ ” ، وَمَا بَقِيَ مِنْ خُمُسِ ” خَيْبَرَ ” ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ : إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا نُورَثُ ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ ، إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْمَالِ وَإِنِّي وَاللَّهِ لَا أُغَيِّرُ شَيْئًا مِنْ صَدَقَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ حَالِهَا الَّتِي كَانَ عَلَيْهَا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَلَأَعْمَلَنَّ فِيهَا بِمَا عَمِلَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى فَاطِمَةَ مِنْهَا شَيْئًا ، فَوَجَدَتْ فَاطِمَةُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ ،
|
Halaqah 25 | Allāh Muhyil Mauta - ilmiyyah.com
Halaqah 25 | Allāh Muhyil Mauta Kitab: Aqidah Ath-Thahawiyah Audio: Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A السلام عليكم ورحمة الله وبركاته الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن وله Beliau mengatakan, وَكَمَا أَنَّهُ مُحْيِي الـمَوْتَى بَعْدَمَا أَحْيَا، اسْتَحَقَّ هَذَا الاسْمَ قبل إحيائهم Sebagaimana Allāh subhanahu wa ta’ala Dialah yang menghidupkan orang-orang yang mati setelah Allāh ﷻ menghidupkan mereka ,Maka Dia berhak menyandang nama ini sebelum Allāh subhanahu wa ta’ala menghidupkan mereka. Jadi Allāh subhanahu wa ta’ala adalah yang menghidupkan orang-orang yang meninggal, Allāh subhanahu wa ta’ala Dialah yang menghidupkan orang-orang yang meninggal meskipun sekarang belum terjadi hari kebangkitan tersebut, tapi kita meyakini bahwasanya Allāh subhanahu Wa ta’ala Dialah مُحْيِي الـمَوْتَى Dialah yang akan menghidupkan orang-orang yang meninggal dunia meskipun sekarang belum terjadi hari kebangkitan, meskipun Allāh subhanahu wa ta’ala belum menghidupkan mereka Ini sama dengan yang tadi Allāh subhanahu Wa ta’ala Dialah Al- Kholiq, meskipun belum ada ciptaannya Dialah Yang Maha mengampuni meskipun satu belum ada yang berdosa tapi Allāh subhanahu wa taala Dialah yang memiliki sifat dialah yang Maha pengampun كَذَلِكَ اسْتَحَقَّ اسْمَ الـخَالِقِ قَبْلَ إِنْشَائِهِمْ. Demikian pula Allāh subhanahu wa ta’ala Dialah yang berhak menyandang nama Al Khaliq meskipun sebelum Allāh subhanahu wa taala menciptakan mereka, Allah sudah memiliki sifat tersebut dan Dialah yang memiliki nama Al Khaliq ذلك بأنهُ على كلِّ شىءٍ قديرٌ، Yang demikian karena Allāh subhanahu wa ta’ala Dialah yang maha mampu untuk melakukan segala sesuatu memang belum terjadi kebangkitan belum terjadi penciptaan tapi Allāh subhanahu wa ta’ala Maha mampu untuk melakukan segala sesuatu secara umum, Allāh mampu untuk melakukan segala sesuatu menciptakan, membangkitkan, menghidupkan, mematikan, maka Dialah yang berhak untuk menyandang nama tersebut dan memiliki sifat tersebut meskipun itu belum terjadi. Allāh subhanahu wa taala Dia memiliki sifat Rububiyah meskipun belum ada marbub Dialah yang berhak menyandang nama Al Khaliq meskipun belum ada yang diciptakan karena Allāh Dialah yang maha Mampu untuk melakukan segala sesuatu وَكُلُّ شَيْءٍ إِلَيْهِ فَقِيرٌ Sesuatu itu fakir kepada Allah, sebagaimana telah berlalu ۞ يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ ۖ [QS Al Fatir 15] وكل أمر عليه يسر Dan segala sesuatu bagi Allāh adalah sangat mudah mencipta, membangkitkan, mematikan, mengatur, meskipun itu belum terjadi tapi Allāh subhanahu wa ta’ala yang Maha untuk melakukan segala sesuatu dan mudah bagi Allāh untuk melakukan segala sesuatu لَّا يَهِدِّي إِلَّا أَن يُهْدَىٰ Allāh mampu untuk melakukan segala sesuatu dan mudah bagi Allāh dan Allāh tidak butuh kepada yang lain ۞….لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ [QS Asyuraa 11] Tidak ada yang serupa dengan Allāh dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Baik, maka di sini beliau kembali berbicara tentang masalah nama dan juga sifat Allāh, beliau banyak memperinci masalah nama dan juga sifat Allāh. Di antara faedah yang kita ambil bahwasanya sifat-sifat Allāh ini sejak dahulu a’zali sebagaimana Dzat Allāh adalah ‘azali, Allāh subhanahu wa taala adalah yang memiliki sifat Al khalq dan Dialah yang memiliki nama al-bari meskipun sebelum Allāh menciptakan penciptaan tersebut. Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqoh kali ini semoga bermanfaat dan sampai bertemu kembali pada halaqoh selanjutnya. والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته Transkrip: Abu Mandala https://ilmiyyah.com/archives/11197
|
Allah Mewafatkan Nabi Isa?
Allah Mewafatkan Nabi Isa? Salah satu yg dipersoalkan org nasrani adalah kematian Isa al masih. Dalam islam isa tidak disalib, yg disalib adalah murid pengkhianat yg wajahnya dijadikan wajah isa. Isa sendiri diangkat oleh ALLAH. Namun dlm teks Al Quran QS 3:55; 5:117 dan 19:33 dinyatakan bhw Isa wafat. Mereka bertanya mengapa ada perbedaan antara teks Al Quran dgn penjelasan bhw Isa diangkat. Ini yang jadi alasan pendeta untuk meyakinkan bahwa ada yg bertentangan dlm al-Quran. Jawab: Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du, Aqidah kaum muslimin yang diajarkan oleh Allah dalam al-Quran, bahwa Nabi Isa ‘alaihis salam masih hidup dan tidak mati. Allah ceritakan makar orang yahudi dan bantahan terhadap anggap anggapan mereka, وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللَّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِنْهُ مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينًا . “Karena ucapan mereka (orang Yahudi): “Sesungguhnya kami telah membunuh al-Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah”, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa.” (QS. An-Nisa: 157) بَلْ رَفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا “Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa: 158). Dalam tafsirnya, Imam Ibnu Athiyah mengatakan, أجمعت الأمة على ما تضمنه الحديث المتواتر من أن عيسى في السماء حي، وأنه سينزل في آخر الزمان فيقتل الخنزير ويكسر الصليب ويقتل الدجال ويفيض العدل وتظهر به الملة – ملة محمد صلى الله عليه وسلم – ويحج البيت ويبقى في الأرض أربعا وعشرين سنة وقيل أربعين سنة “Umat Islam sepakat terhadap makna yang disebutkan dalam banyak hadis yang mutawatir, bahwa nabi Isa berada di langit, masih hidup. Dia akan turun di akhir zaman, membunuh babi, mematahkan salib, membunuh Dajjal, memenuhi bumi dengan keadilan, dan agama Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi menang. Beliau juga berhaji ke ka’bah, dan tinggal di muka bumi selama 24 tahun. Ada yang mengatakan selama 40 tahun.” (al-Muharar al-Wajiz, 1:429). Keterangan selengkapnya, bisa anda pelajari di: Apakah Nabi Isa Masih Hidup?Makna kalimat “Allah Mewafatkanmu” Sebelumnya kami ingatkan satu prinsip, kembalikan bahasa kepada yang punya. Al-Quran Allah turunkan berbahasa arab. Untuk menjawab pertanyaan mengenai makna kandungan al-Quran, kembalikan kepada mereka yang paham bahasa arab. Kita tidak mungkin mengembalikan tafsir al-Quran kepada keterangan pendeta atau orang nasrani. Mereka tidak memiliki kapasitas dalam hal ini. Kecuali jika kita memiliki prinsip bebas nilai, semua relatif, sehingga tidak ada standar kebenaran. Ayat yang dimaksudkan adalah firman Allah, إِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ (Ingatlah), ketika Allah berfirman: “Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku. (QS. Ali Imran: 55) Kita simak keterangan Ibnul Jauzi. Beliau menyebutkan perbedaan pendapat ulama tentang masalah ini. Pertama, kata mutawaffiika [مُتَوَفِّيكَ] artinya bukan “mematikan kamu”. Kata ‘tawaffa’ [التوفي] diturunkan dari kata iftifa’ al-Adad [استيفاء العدد] yang artinya memenuhi dan menyempurnakan. Sehingga makna: “inni mutawaffiika” [إِنِّي مُتَوَفِّيكَ]: Aku angkat dirimu dari bumi dalam kondisi sempurna, utuh, tidak mendapatkan dampak buruk sedikitpun dari usaha orang yahudi. Ini merupakan pendapat al-Hasan al-Bashri, Ibnu Juraij, Ibnu Qutaibah, dan yang dipilih oleh al-Farra’. Diantara dalil pendukung pendapat ini adalah firman Allah, فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ أَنْتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِم
|
Hukum Orang yang Menuduh Aisyah Radhiyallahu Anha
HUKUM ORANG YANG MENUDUH AISYAH RADHIYALLAHU ANHA Pertanyaan Apa hukumnya orang yang menuduh Aisyah Radliyallahu Anha? Jawaban Alhamdulillah. Sesungguhnya Aisyah dan yang lainnya termasuk Ummahatul Mukminin yang secara otomatis masuk dalam keumuman sahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa sallam, maka setiap nash yang menyebutkan pelarangan mencela para Sahabat maka Aisyah termasuk di dalamnya, dan di antaranya adalah riwayat. عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” لا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلا نصيفه “رواه البخاري : فتح رقم 3379 Dari Abu Said Al Khudri Radliyallahu Anhu dia berkata : Rasulullah Shallallahu Alaihi wa sallam bersabda : “ Janganlah kalian mencela sahabat-sahabatku, maka demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya jika salah seorang di antara kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka hal itu tidak akan menyamai satu mud pun dari (kebaikan) mereka atau bahkan tidak pula separuhnya”. Hadits Riwayat Al Bukhari dalam kitab Fathul Bari nomer 3379. Kemudian sesungguhnya seluruh Ulama’ Islam tanpa terkecuali dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah mereka bersepakat bahwasannya barangsiapa yang mencela dan menghina Aisyah Radliyallahu Anha dari apa yang Allah telah mensucikannya, maka dia termasuk golongan orang kafir yang mendustakan apa yang telah disebutkan oleh Allah tentang pembebasannya dari segala tuduhan dalam surat An-Nur. Imam Ibnu Hazm telah menorehkan dengan sanadnya kepada Hisyam bin Ammar dia berkata : Aku telah mendengar Malik bin Anas berkata : Barangsiapa yang mencela Abu Bakar dan Umar maka hukumannya adalah dicambuk, dan barangsiapa yang mencela Aisyah hukumannya dibunuh, ditanyakan kepadanya ; mengapa yang mencela Aisyah dibunuh ? Malik bin Anas menjawab : Karena Allah Ta’ala telah berfirman tentang Aisyah Radliyallahu Anha : يَعِظُكُمُ اللّٰهُ اَنْ تَعُوْدُوْا لِمِثْلِهٖٓ اَبَدًا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ “Allah memberikan peringatan kepada kalian agar kalian (jangan) lagi berbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kalian termasuk orang-orang yang beriman ”. [An Nur/24:17] Imam Malik berkata : Barangsiapa yang mencela Aisyah maka dia telah mendustakan Al Qur’an dan barang siapa yang mendustakan Al Qur’an maka dia harus dibunuh. Ibnu Hazm berkata : Ungkapan Imam Malik dalam hal ini sangat benar, bahwa orang yang mencela Aisyah termasuk murtad dan mendustakan Allah Ta’ala karena Allah telah menyatakan kesucian dan bebasnya Aisyah dari segala tuduhan. Abu Bakar bin Ibnul ‘Arobi berkata : (Karena sesungguhnya mereka orang yang menebarkan berita dusta telah menuduh Aisyah Al Muthohharoh dengan kekejian dan keburukan, lalu Allah membebaskannya dan setiap orang yang mencelanya terhadap sesuatu yang Allah telah mensucikannya, maka dia telah mendustakan Allah dan barang siapa yang mendustakan Allah maka dia telah kafir, dan metode Malik ini merupakan jalan petunjuk bagi orang-orang yang berakal). Al Qodli Abu Ya’la mengatakan : (Barang siapa yang menuduh Aisyah terhadap apa yang Allah telah membebaskannya, maka dia telah kafir tanpa adanya perselisihan pendapat antar Ulama’ dalam hal ini, juga tidak sedikit para ulama yang bersepakat dan menyatakan kejelasan pendapat mereka tentang hukum ini). Ibnu Abi Musa berkata : (Dan barangsiapa yang menuduh Aisyah Radliyallahu Anha terhadap apa yang Allah telah membebaskannya dari kekejian maka dia telah keluar dari agama dan tidak layak menjalin pernikahan dengan muslimah manapun). Ibnu Qudamah berkata : (Dan termasuk sunnah mendoakan keridloan kepada Allah bagi istri-istri Rasulullah Shallallahu Alaihi wa sallam para Ummahatul Mukminin yang suci yang telah dijauhkan dari segala macam keburukan, yang paling utama dari mereka adalah Khadijah binti Khuwailid dan Aisyah As shadiqah binti As Shiddiq yang Allah telah mensucikannya dalam kitab-Nya, dia merupakan istri Nabi Shallallahu Alaihi wa sallam di dunia dan di akhirat, barangsiapa yang menuduhnya dari apa yang Allah telah mensucikannya maka dia te
|
Doa Nabi memohon perlindungan kepada Allah dan dzikir di saat kesusahan dan kesulitan
Doa Nabi memohon perlindungan kepada Allah dan dzikir di saat kesusahan dan kesulitan Pertanyaan: Apakah ada do'a-do’a (tertentu) yang bisa kita panjatkan pada saat terjadi musibah dan bencana, seperti ketika terjadi perang dan penyerangan kaum kafir terhadap negara-negara Islam?. Ringkasan Jawaban Diantara do’a-doa mohon perlindungan dari fitnah dan (agar) dihilangkan kesusahan: (اللهم إنا نجعلك في نُحُورِهِم، ونعوذ بك من شرورهم) “Ya Allah, sesungguhnya kami menjadikan Engkau di leher-leher mereka (agar kekuatan mereka tidak berdaya dalam berhadapan dengan kami) dan kami berlindung kepada-Mu dari kejelekan-kejelekan/kejahatan-kejahatan mereka” (لا إله إلا الله العظيم الحليم، لا إله إلا الله رب العرش العظيم، لا إله إلا الله رب السموات ورب الأرض ورب العرش الكريم) Tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah yang Maha Agung dan Maha Santun. Tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah, Rabb yang menguasai ‘arsy, yang Maha Agung. Tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah – (Dia) Rabb yang menguasai langit, (Dia) Rabb yang menguasai bumi, dan (Dia) Rabb yang menguasai ‘arsy, lagi Mahamulia. (لا إله إلا الله الحليم الكريم، لا إله إلا الله العلي العظيم، لا إله إلا الله رب السموات السبع ورب العرش الكريم) Tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah yang Maha Santun dan Pemurah. Tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah yang Maha tinggi dan Agung. Tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah – (Dia) Rabb yang menguasai langit, (Dia) Rabb yang menguasai bumi, dan (Dia) Rabb yang menguasai ‘arsy, lagi Maha Mulia. (اللهم أنت عضدي وأنت نصيري وبك أقاتل) “Ya Allah, Engkau adalah lenganku (penolongku). Engkau adalah pembelaku. Dengan pertolongan-Mu aku berperang” (لا إله إلا أنت سبحانك إني كنت من الظالمين) Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau (Ya Allah), Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk di antara orang-orang yang berbuat zalim/aniaya (أعوذ بكلمات الله التامة من غضبه وشر عباده ومن همزات الشياطين وأن يحضرون) Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari kemarahan-Nya, dan dari kejahatan hamba-hamba-Nya dan dari dorongan jahat setan dan dari kehadiran mereka. (اللهم رحمتك أرجو فلا تَكِلْنِي إلى نفسي طرفة عين وأصلح لي شأني كله لا إله إلا أنت) Ya Allah, hanya rahmat-Mu yang kuharapkan! Maka janganlah Engkau serahkan aku kepada diriku meski sekejap mata, dan perbaikilah urusanku seluruhnya. (Sungguh) tidak ada tuhan selain Engkau (يا حي يا قيوم برحمتك أستغيث) Wahai (Dzat) yang Maha Hidup dan yang Maha memelihara! Dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan (الله ربي لا أُشْرِكُ به شيئا) Allah adalah tuhanku, aku tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun Teks Jawaban Isi Jawaban Global Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam meminta perlindungan dari godaan (fitnah) Do’a mohon perlindungan dari cobaan (fitnah) dan kesulitan. Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam meminta perlindungan dari godaan (fitnah) Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam selalu memperbanyak do’a mohon perlindungan Allah dari godaan (fitnah) sebagaimana disebutkan dalam Hadist Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: تعوذوا بالله من الفتن ما ظهر منها وما بطن "Berlindunglah diri kepada Allah dari fitnah-fitnah yang nampak dan yang tersembunyi." Diriwayatkan oleh Muslim (2867). Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Malam ini Tuhanku Yang Maha Esa datang kepadaku dalam wujud yang terbaik – jadi beliau menyebutkan hadits yang di dalamnya ada firman Allah ta’ala – يا محمد إذا صليت فقل: اللهم إني أسألك فعل الخيرات، وترك المنكرات، وحب المساكين، وأن تغفر لي وترحمني وتتوب علي، وإن أردت بعبادك فتنة فاقبضني إليك غير مفتون رواه الترمذي (3233)، وقال عنه الألباني رحمه الله في "صحيح الترغيب والترهيب" (408): "صحيح لغيره". “Wahai Muhammad, ketika kamu berdo’a, ucapkanlah: “Ya Allah, sesungguhnya aku meminta-Mu untuk berbuat kebaikan, meninggalkan kemungkaran, mencintai orang-orang miskin, Engkau ampuni kesalahanku, Engkau sayangi dan terima taubatku, dan bila Engkau
|
Syubhat-Syubhat Tentang Abu Bakar Radhiyallahu Anhu
SYUBHAT-SYUBHAT TENTANG ABU BAKR RADHIYALLAHU ANHU Oleh Ustadz Abdullah Roy Lc, MA Abu Bakar ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu adalah orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan laki-laki. Beliau Radhiyallahu anhu adalah manusia paling utama setelah para nabi dan rasul. Beliau Radhiyallahu anhu membenarkan dan mengimani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat manusia mendustakannya, yakin tentang kebenaran apa yang dibawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika manusia meragukannya. Berbagai gangguan di jalan Allâh beliau hadapi bersama dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Banyak orang yang masuk Islam dengan sebab beliau Radhiyallahu anhu. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengabarkan bahwa laki-laki yang paling beliau cintai adalah Abu Bakr Radhiyallahu anhu . Meski demikian, sebagian orang telah berani mencela dan menuduh Abu Bakar Radhiyallahu anhu dengan tuduhan-tuduhan yang tidak benar, mereka mendatangkan syubhat-syubhat tentang beliau Radhiyallahu anhu. Syubhat-syubhat mereka telah dibantah oleh para Ulama sebagai bentuk pembelaan kepada shahabat mulia ini. Diantara syubhat-syubhat tersebut adalah: Syubhat Pertama : Mereka mengatakan bahwa nama asli Abu Bakr adalah Abdullaata yang artinya hamba laata, nama berhala Quraisy, ketika masuk Islam nama beliau diganti dengan Abdullah. Bantahan. Nama Beliau Radhiyallahu anhu adalah Abdullâh, sebagaimana dalam kitab-kitab yang menceritakan biografi para sahabat. Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Sa’îd bin Manshûr mengatakan, ‘Telah mengabarkan kepadaku Shâlih bin Musa, telah mengabarkan kepada kami Mu’âwiyah bin Ishâq, dari ‘Aisyah binti Thalhah, dari ‘Aisyah Ummul Mu’minin Radhiyallahu anhuma beliau berkata : اسْمُ أَبِي بَكْرٍ الَّذِيْ سَمَّاهُ بِهِ أَهْلُهُ عَبْدُ اللهِ وَلَكِنْ غَلَبَ عَلَيْهِ اِسْمُ عَتِيْقٍ “Nama Abu Bakar yang keluarganya memanggil dengannya adalah Abdullah, akan tetapi sering beliau dipanggil ‘Atiiq” [al-Ishâbah fii Tamyîz ash-Shahâbah 4/170] Seandainya pun nama itu benar maka ini bukan celaan bagi beliau Radhiyallahu anhu karena beliau Radhiyallahu anhu sudah masuk Islam dan bertaubat. Syubhat Kedua : Mereka mengatakan bahwa Abu Bakar Radhiyallahu anhu masuk Islam dengan pura-pura. Bantahan. Kaum Muslimin telah bersepakat bahwa beliau Radhiyallahu anhu adalah laki-laki yang pertama masuk Islam. Abdullah bin Abbâs Radhiyallahu anhuma pernah ditanya, “Siapa yang pertama kali masuk Islam?” Maka beliau Radhiyallahu anhuma menjawab, “Abu Bakar ash-Shiddîq”[1] Syubhat Ketiga : Abu Bakar menghalangi Fathimah Radhiyallahu anhuma dari warisan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan berdalil hadits yang dia riwayatkan sendiri, padahal Allah Azza wa Jalla berfirman: يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ Allâh telah berwasiat kepada kalian tentang anak-anak kalian, laki-laki mendapatkan dua bagian wanita [an-Nisâ’/4:11] Dan mereka juga mengatakan bahwa Abu Bakar Radhiyallahu anhu menghalangi Fathimah dari mendapatkan Fadak, sebuah daerah di Khaibar, bagian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka meyakini bahwa alasan Abu Bakar Radhiyallahu anhu melakukannya adalah karena takut apabila Fathimah Radhiyallahu anhuma mendapatkannya maka beliau Radhiyallahu anhuma akan menggunakan harta tersebut untuk mencari dukungan manusia membatalkan kekhilafahan Abu Bakar Radhiyallahu anhu. Mereka berkata bahwa barangsiapa yang menyakiti Fâthimah Radhiyallahu anhuma berarti dia menyakiti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal Allâh Azza wa Jalla berfirman : إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُهِينًا Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allâh dan Rasul-Nya, Allâh melaknat mereka di dunia dan di akhirat, dan menyediakan bagi mereka adzab yang menghinakan [al-Ahzâb/33:57] Bantahan. 1. Abu Bakar ash-Shiddiiq Radhiyallahu anhu tidak memberikan kepada Fathimah Radhiyallahu anhuma dan ahli waris Rasûlullâh yang lain berdasarkan hadits yang shahih bukan berdasarkan keinginan hawa nafsu. Rasû
|
Hukum Nikah Siri dalam Islam
Hukum Nikah Siri dalam Islam Fenomena nikah siri akhir-akhir ini mulai terangkat kembali, menjadi bahan pembicaraan di portal-portal berita dan di seluruh media, baik itu di televisi ataupun media sosial. Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi maraknya fenomena tersebut. Di antaranya: faktor ekonomi, hamil di luar nikah, ingin melakukan poligami secara diam-diam, atau karena calon mempelai belum mencapai umur minimal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan karena sebab-sebab lainnya. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) ‘nikah siri’ memiliki definisi, “Pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang modin atau pegawai masjid dan saksi, tidak melalui Kantor Urusan Agama (KUA), dan sah menurut agama Islam.” Nikah siri dapat dipahami juga sebagai sebuah pernikahan yang hanya sah secara hukum agama Islam, namun belum tercatat di Kantor Urusan Agama milik negara. Selama syarat-syarat sah dan rukun nikahnya terpenuhi, maka akad pernikahannya tersebut sah dan menjadikan sebuah hubungan yang semula haram untuk dilakukan menjadi halal untuk dilakukan sebagai suami dan istri. Pengertian nikah siri di dalam Islam memiliki makna yang lebih luas, karena mencakup pernikahan yang sah dan juga yang tidak sah. “Siri” secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu sirrun yang berarti rahasia, sunyi, diam, tersembunyi. Lawan kata dari ’alaniyyah, yaitu terang-terangan. Melalui akar kata inilah, ‘nikah siri’ diartikan sebagai nikah yang dirahasiakan, berbeda dengan nikah pada umumnya yang dilakukan secara terang-terangan. Sebelum memahami lebih jauh tentang nikah siri, perlu kita ketahui terlebih dahulu bahwa tidak semua pernikahan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tidak diumumkan diakui dan dianggap sah oleh syariat Islam. Untuk menghukumi sah atau tidaknya nikah siri, perlu kita ketahui terlebih dahulu dua hal berikut ini: Pertama: Rukun dan syarat nikah dalam Islam. Kedua: Adanya syariat dan anjuran untuk mengumumkan dan memeriahkan pernikahan.Rukun dan syarat nikah dalam Islam Untuk menentukan sah atau tidaknya hukum nikah siri (nikah yang disembunyikan) dalam ajaran Islam, maka kita perlu memastikan apakah semua rukun dan syaratnya telah terpenuhi ataukah belum. Adapun rukun dan syarat sah nikah dalam ajaran Islam yaitu,Pertama: Keberadaan calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan Untuk calon pengantin pria, maka memiliki persyaratan, seperti: beragama Islam, tidak sedang dalam keadaan ihram, berdasarkan keinginannya sendiri dan bukan paksaan, identitas jelas, mengetahui nama calon istrinya ataupun sosoknya ataupun sifatnya, mengetahui dengan jelas bahwa calonnya bukan dari kategori perempuan yang haram untuk dinikahi (misalnya, adanya pertalian darah ataupun saudara sepersusuan), serta jelas kelaminnya bahwa ia laki-laki (tidak memiliki kelainan kelamin). Untuk calon pengantin perempuan, maka harus memenuhi persyaratan-persyaratan, seperti: tidak sedang dalam keadaan ihram, identitas jelas, berstatus single (tidak dalam status menikah dengan orang lain), dan tidak sedang dalam masa idah dari pernikahannya dengan orang lain.Kedua: Keberadaan wali nikah dan adanya izin dari wali nikah bagi mempelai perempuan Baik wali nikahnya tersebut dari jalur nasab ataupun dari wali hakim. Adapun syarat yang harus terpenuhi sehingga seseorang dapat menjadi wali nikah, yaitu: berdasarkan keinginannya sendiri, merdeka (bukan budak), laki-laki, dewasa (sudah balig), tidak disifati dengan kefasikan, tidak mengalami gangguan akal, baik itu karena tua (pikun) ataupun karena gila, tidak bodoh dan dungu, dan tidak dalam kondisi ihram. Wali seorang perempuan adalah ayahnya ataupun pewaris laki-laki (asabat) untuk seorang perempuan.Ketiga: Hadirnya dua orang saksi Di mana saksi ini nantinya yang akan menentukan apakah pernikahannya sah ataukah tidak. Sedangkan syaratnya: beragama Islam, laki-laki (menurut mayoritas mazhab), sudah dewasa, kompeten di bidang persaksian, dan ia tidak ditunjuk sebagai wali nikah (tidak bisa dirangkap pada diri seseorang, dia menjadi wali sekaligus saksi). Disebutkan di dalam hadis sahih, لاَ نِكَاح
|
Hukum Berbelasungkawa Kepada Orang Kafir Jika Dia Meninggal Dunia
Hukum Berbelasungkawa Kepada Orang Kafir Jika Dia Meninggal Dunia Pertanyaan: Bagaimanakah hukum menyampaikan belasungkawa kepada orang kafir jika ia meninggal dunia, baik keluarganya muslim ataukah kafir ? Teks Jawaban Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya. “Adapun jika mereka (keluarga si mayit yang kafir) beragama Islam, tidak ada salahnya menyampaikan belasungkawa kepada mereka, karena mereka adalah umat Islam yang tertimpa musibah, dan mereka berhak untuk itu. Namun jika mereka kafir, hendaknya dipertimbangkan untuk kemaslahatannya. Jika berbelasungkawa untuk memikat hati dan mendapatkan kasih sayang orang-orang kafir kepada kaum Muslimin, maka tidaklah mengapa. Namun jika tidak ada manfaatnya, maka tidak ada faedahnya menyampaikan belasungkawa.” (Yang mulia Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah, Al-Ijabat ‘Ala As’ilat Al-Jaliyat, 1/14-15). https://m.islamqa.info/id/answers/106520
|
Keistimewaan Abu Bakar Radhiyallahu Anhu Dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits
KEISTIMEWAAN ABU BAKAR RADHIYALLAHU ANHU DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITS Oleh Ustadz Emha Ayatullah Seseorang yang masih berstatus sebagai pelajar atau mahasiwa, namun sudah mendapatkan jaminan akan suatu pekerjaan dengan gaji di atas rata-rata setelah menyelesaikan studinya adalah dambaan banyak orang, bahkan tidak tidak berlebihan jika sebagian dari masyarakat akan menyematkan gelar “orang yang sukses”, baik dalam belajar maupun pekerjaannya. Kondisi ini pasti membanggakan dan membahagiakan, padahal ini baru urusan dunia dan memberikan janji juga manusia yang bisa saja berubah sesuai kondisi. Lalu bagaimanakah jika hal itu berkait dengan kehidupan akhirat? Adakah ketenangan, kebahagiaan, bahkan kesuksesan seseorang yang melebihi ketenangan, kebahagiaan dan kesuksesan orang yang telah dijanjikan untuk masuk ke dalam surga Allâh Azza wa Jalla setelah kematiannya? Sangatlah pantas jika orang yang telah mendapatkan janji tersebut akan semakin rindu untuk bertemu dengan Rabb yang menciptakannya, serta menganggap dunia ini hanya tempat yang bersifat sementara. Disebutkan dalam sebuah hadits bahwa sahabat Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu bercerita, beliau pernah berwudlu di rumahnya, kemudian keluar sambil berkata: “Aku akan melewatkan hari ini untuk menemani Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam “, beliau pun bergegas pergi ke masjid dan menanyakan keberadaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , orang-orang menjawab, “Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar ke arah sana.” Abu Musa Radhiyallahu anhu mengatakan,”Maka aku pun berjalan ke arah tersebut hingga beliau masuk ke dalam sumur di kebun Aris, aku pun duduk di pintu yang terbuat dari pelepah kurma, hingga Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelesaikan buang hajatnya kemudian berwudhu. Aku menghampiri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk pada tepi sumur tersebut sambil menyingkap dua betisnya serta menjuntaikannya ke dalam sumur, aku memberi salam kepada beliau kemudian aku kembali lagi ke pintu, aku mengatakan: sungguh hari ini aku akan menjadi penjaga pintu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Lalu datanglah Abu Bakar mendorong pintu itu, aku bertanya, ‘Siapa ini?’ Ia menjawab, ‘Abu Bakar.’ Aku mengatakan kepada beliau, ‘Tunggu sebentar!’ Kemudian aku mendatangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sambil memberitahu, ‘Wahai Rasûlullâh, Abu Bakar datang meminta izin (untuk masuk).’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : ائْذَنْ لَهُ وَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ Biarkan dia masuk dan berikan kabar gembira kepadanya bahwa dia akan masuk surga. Aku beranjak kepadanya kemudian aku katakana, ‘Silahkan masuk! Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberimu kabar gembira bahwa engkau akan masuk surga.’ Lalu Abu Bakar masuk kemudian duduk di sebelah kanan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tepi sumur tersebut sambil memasukkan kedua kakinya ke arah sumur seperti yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil menyingkap kedua betisnya, maka aku kembali duduk di pintu sementara aku tadi (di rumah) sedang meninggalkan saudaraku berwudhu untuk kemudian menyusulku, maka aku bergumam: Kalau Allâh menghendaki kebaikan kepada saudaraku, maka ia akan membuatnya datang ke tempat ini. Tiba-tiba ada seseorang yang mendorong pintu, aku pun bertanya, ‘Siapa di luar?’ Orang tersebut menjawab, ‘Umar bin Khattab.’ Aku mengatakan, ‘Tunggulah sebentar!’ Maka aku memberi salam kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil memberi tahu bahwa Umar bin Khatab datang meminta izin (untuk masuk, beliaupun menjawab : ائْذَنْ لَهُ وَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ Biarkan dia masuk dan berilah kabar gembira bahwa dia akan masuk surga. Aku pun menghampirinya sambil mengatakan, ‘Silahkan masuk! Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberimu kabar gembira bahwa engkau akan masuk surga.’ Kemudian ia pun masuk dan duduk di sebelah kiri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallamdi mulut sumur, menjuntaikan kedua kaki ke dalamnya. Maka aku kembali dan duduk di tempatku. Kembali aku bergumam: Jika All
|
Sembelihan Ahli Kitab Zaman Sekarang
Sembelihan Ahli Kitab Zaman Sekarang Apakah sembelihan ahli kitab zaman sekarang masih halal? Bukankah mereka telah menyeleweng, menyimpang, dan kufur… mohon pencerahannya. Jawab: Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du, Allah menghalalkan sembelihan ahli kitab melalui firmannya, الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.” (QS. al-Maidah: 5) Ibnu Katsir menyebutkan keterangan dari Ibnu Abbas, Mujahid, Said bin Jubair, Atha’, dan yang lainnya, bahwa makna makanan ahli kitab adalah sembelihan ahli kitab. (Tafsir Ibnu Katsir, 3/40). Diantara bentuk penerapannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatagi undangan makan kambing yang disediakan oleh wanita pada saat peristiwa Khaibar. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menceritakan, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْبَلُ الْهَدِيَّةَ ، وَلا يَأْكُلُ الصَّدَقَةَ ، فَأَهْدَتْ لَهُ يَهُودِيَّةٌ بِخَيْبَرَ شَاةً مَصْلِيَّةً سَمَّتْهَا، فَأَكَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهَا Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima hadiah dan tidak memakan sedekah. Suatu ketika ada wanita Yahudi di Khaibar yang menghadiahkan kepada beliau kambing panggang yang telah diberi racun. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam makan dagingnya. (HR. Abu Dawud 4514 dan dishahihkan al-Albani). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memakan daging itu, karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tahu ada racunnya. Kesimpulan yang menjadi kepentingan kita adalah kesediaan beliau makan daging kambing itu, padahal dia disembelih oleh orang yahudi. Artinya, beliau menilai halal daging itu.Kriteria Ahli Kitab yang Halal Sembelihannya Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan adalah, ahli kitab seperti apakah yang halal sembelihannya? Apakah hanya berlaku untuk ahli kitab masa silam? Ataukah orang nasrani dan yahudi di zaman sekarang termasuk ahli kitab yang halal sembelihannya? Para ulama menegaskan, bahwa semua yang beragama yahudi dan nasrani, maka mereka ahli kitab. Terlepas dari semua penyimpangan yang mereka lakukan. Syaikhul Islam menjelaskan firman Allah yang menyatakan, وَقُل لِّلَّذِينَ أُوْتُواْ الْكِتَابَ “Sampaikanlah kepada orang-orangn yang diberi al-Kitab.” (QS. Ali Imran: 20) Selanjutnya beliau mengatakan, وهو إنما يخاطب الموجودين في زمانه بعد النسخ والتبديل يدل على أن من دان بدين اليهود والنصارى، فهو من الذين أوتوا الكتاب، لا يختص هذا اللفظ بمن كانوا متمسكين به قبل النسخ والتبديل، ولا فرق بين أولادهم وأولاد غيرهم Sasaran ayat ini adalah ahli kitab yang ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mereka mengikuti agama setelah terjadi pengubahan dan penyelewengan isi taurat dan injil (nasakh wa tabdil). Ini menunjukkan bahwa semua yang beragama yahudi atau asrani maka dia orang yang diberi kitab (ahli kitab). Istilah ‘ahli kitab’ ini tidak hanya khusus untuk generasi yang komitmen dengan isi taurat dan injil sebelum mengalami perubahan. Dan tidak ada perbedaan antara keturunan mereka dan keturunan selain mereka. (Kitab al-Iman, hlm. 49). Keterangan lain disampaikan Ibnu Asyura dalam tafsirnya. Beliau menuliskan, اسم (أهل الكتاب) لقب في القرآن لليهود والنصارى الذين لم يتديّنوا بالإِسلام؛ لأن المراد بالكتاب: التوراة والإِنجيل إذا أضيف إليه (أهل) “Istilah ’ahli kitab’ adalah istilah dalam al-Quran untuk menyebut orang yahudi dan nasrani yang tidak masuk islam. Karena yang dimaksud dengan al-Kitab di sini adalah Taurat dan Injil, apabila di depannya di tambahkan kata ’ahlu’.” (Tafsir Ibnu Asyura – at-Tahrir wa at-Tanwir, 27/249) Kesimpulannya, semua yang beragama yahudi dan nasrani adalah ahli kitab, tanpa memandang adanya penyimpangan apapun dalam agama mereka. Ahli Kitab di Zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah Kafir Terdapat banyak dalil yang menunjukkan kafirnya ahli kitab di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diantaranya, firman Allah, لَمْ يَكُنِ ا
|
Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu Khalifah IV
ALI BIN ABI THALIB RADHIYALLAHU ANHU KHALIFAH IV Makalah ini diterjemahkan dari syarah ringkas Aqidah Thahawiyah yang ditulis oleh Syeikh Muhammad al-Hamud, seri ke 81 tentang kekhalifahan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu dalam majalah al-Furqan terbitan Kuwait edisi 120 Th.XII – Dzul Hijjah 1420 H/April 2000M dengan judul “Fadhlu Amir al-Mu’minin Ali bin Abi Thalib Waliy al-Muttaqin wa Daafi’ al-Mariqin”. Diterjemahkan oleh Ahmas Faiz Asifuddin, dengan harapan agar kaum Muslimin semakin memahami dan menyintai para tokoh pendahulunya, termasuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu anhuma . Sehingga aqidah, ilmu, amaliyah, sikap dan ibadahnya kepada Allah menjadi lurus –bi taufiqillah-. Tentang Perkataan Imam Thahawi rahimahullah (dalam kitabnya Aqidah Thahawiyah) :“Kemudian (kekhalifahan berlanjut) pada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu “ Syarah. Maksudnya, kita (harus) menetapkan kekhalifahan sesudah Utsman Radhiyallahu anhu, pada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu. (Yaitu) setelah Utsman Radhiyallahu ‘anhu terbunuh dan orang-orang membaiat Ali. Maka jadilah Ali sebagai Imam yang haq (benar) dan wajib ditaati. Dialah khalifah pada zamannya yang masih disebut sebagai khilafah nubuwah, sebagaimana telah ditunjukkan oleh hadits Safinah Radhiyallahu ‘anhu (nama sahabat) yang telah disebutkan sebelumnya[1] yaitu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : خِلاَفَةُ النُّبُوَّةِ ثَلاَثُوْنَ سَنَةً، ثُمَّ يُؤْتِي اللهُ مُلْكَهُ مَنْ يَشَاء Khilafah Nubuwah ada tiga puluh tahun, kemudian Allah akan memberikan kekuasaan-Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki.[2] Masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq dua tahun tiga bulan, masa kekhalifahan Umar Radhiyallahu anhu sepuluh tahun setengah, masa kekhalifahan Utsman Radhiyallahu anhu duabelas tahun, masa kekhalifahan Ali Radhiyallahu anhu empat tahun sembilan bulan, dan masa kekhalifahan Hasan bin Ali Radhiyallahu anhuma enam bulan. Kemudian raja kaum Muslimin yang pertama adalah Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu , dialah raja kaum Muslimin yang terbaik. Tetapi beliau menjadi Imam hanya setelah Hasan bin Ali Radhiyallahu ‘anhuma menyerahkan jabatan khalifah kepadanya. Sebab (sebelum itu) Hasan bin Ali Radhiyallahu ‘anhuma telah dibaiat oleh penduduk Irak setelah kematian bapaknya. Selanjutnya setelah enam bulan, Hasan menyerahkan urusan kekhalifahan kepada Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu . Dari situ tampaklah kebanaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersabda : إِنَّ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَسَيُصْلِحُ اللهُ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيْمَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ Sesungguhnya anakku (baca : cucuku) ini adalah sayyid (orang terkemuka) dan dengannya Allah akan mendamaikan dua kelompok besar (yang saling berperang) di antara kaum Muslimin.[3] Kisah tentang hal ini sudah dikenal, tetapi tidak perlu diceritakan di sini. (Pada catatan kaki tulisan asli dikemukakan penjelasan berikut : Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji Hasan (bin Ali) disebabkan perdamaian yang terjadi karena tindakannya. Lantaran itu beliau Shallallahu ‘alaihi wa salllam menyebutnya sebagai sayyid, sebab yang dilakukan Hasan dicintai dan diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya. Andaikata peperangan yang terjadi antar sesama kaum Muslimin merupakan hal yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, tentu tindakan Hasan tidak akan dipuji (oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ), bahkan bisa jadi Hasan telah meninggalkan kewajiban atau meninggalkan sesuatu yang lebih dicintai oleh Allah. Ini merupakan nash (dalil) shahih yang menjelaskan bahwa apa yang dilakukan oleh Hasan (bin Ali) adalah terpuji dan diridhai di sisi Allah dan rasul-Nya. Majmu’ [Fatawa Ibnu Taimiyah XXXV/70-71] Jadi (sekali lagi-pen.) kekhalifahan tertetapkan bagi Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu sepeninggal Utsman Radhiyallahu anhu , dengan berbaiatnya semua sahabat kepadanya kecuali Mu’awiyah Radhiyallahu anhu dan penduduk Syam. Dalam hal ini yang benar adalah Ali Radhiyallahu anhu. Sebab ketika Utsman Radhiyallahu anhu terbunuh, ban
|
Hukum Memakai Sepatu Hak Tinggi
Hukum Memakai Sepatu Hak Tinggi Pertanyaan: Bagaimanakah hukum Islam tentang memakai sepatu dengan hak tinggi ? Teks Jawaban Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya. Minimal hukumnya adalah makruh. Pertama, karena alasan kamuflase. Wanita terlihat tinggi padahal sebenarnya tidak. Kedua, hal ini menimbulkan risiko terjatuh bagi wanita. Ketiga, berbahaya bagi kesehatan, seperti yang dinyatakan oleh para dokter. Refrensi: Majmu’ Fatawa wa Maqalat, Syaikh Bin Baz, 6/397 https://m.islamqa.info/id/answers/26812
|
Memakan Makanan Yang Disediakan Untuk Hari Raya Kristen
MEMAKAN MAKANAN YANG DISEDIAKAN UNTUK HARI RAYA KRISTEN Pertanyaan: Apa hukum memakan makanan yang disediakan untuk hari raya Kristen? Dan apa hukum memenuhi undangan mereka dalam perayaan kelahiran Al-Masih Alaihis salam? Teks Jawaban Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya. Tidak dibolehkan merayakan hari raya bid’ah seperti hari kelahiran untuk orang Kristen, hari raya Nairuz. Begitu juga dengan perayaan yang dilakukan oleh umat Islam, seperti perayaan maulid di bulan Rabi’ul Awwal, perayaan Isra di bulan Rajab dan semisalnya. Tidak dibolehkan memakan makanan yang disediakan orang Kristen atau orang musyrik pada musim hari raya mereka. Tidak dibolehkan memenuhi undangannya waktu perayaan itu. hal itu dikarenakan, memenuhi undangannya termasuk memberi dukungan dan menyetujui mereka terhadap bid’ah mereka. Hal itu dapat menjadi sebab menipu orang bodoh sehingga mereka berkeyakinan bahwa hal itu tidak mengapa. Wallahu’alam. Refrensi: Dari kitab Al-Lu’lul Makin Min Fatawa Ibnu Jibrin’ hal. 27 https://m.islamqa.info/id/answers/7876
|
Hukum Mencicil Bacaan Surat Al-Kahfi Di Hari Jumat
Hukum Mencicil Bacaan Surat Al-Kahfi Di Hari Jumat Pertanyaan: Bismillah. Bolehkah mencicil bacaan Surat al-Kahfi di Hari Jumat? Semoga Ustadz dan tim Bimbingan Islam dalam lindungan Allah subhanahu wa ta’ala dan selalu diberi kesehatan. Setiap pekan saya baca surah al-Kahfi tapi saya cicil karena napas saya tidak kuat. Saya tidak kuat kalau membaca satu surat sekaligus. Malam Jumat saya baca 2 halaman, hari Jumat setelah shalat subuh baca 2 halaman, setelah Dzuhur saya baca sampai selesai. Apakah ini diperbolehkan? (Ditanyakan oleh Sabahat Mahad BIAS) Jawaban: Aamiin, terima kasih atas doa yang terpanjat, semoga Allah berikan kebaikan kepada kita semua hidayah dan taufiq-Nyaa. Sebagaimana riwayat dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيقِ “Barang siapa yang membaca surat al-Kahfi pada malam Jumat, dia akan disinari cahaya antara dirinya dan Ka’bah.” (HR. ad-Darimi 3470 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahihul Jami’, 6471) Dalam riwayat lain, beliau bersabda, مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ فِى يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ “Barang siapa yang membaca surat Al-Kahfi pada hari Jumat, dia akan disinari cahaya di antara dua Jumat.” (HR. Hakim 6169, Baihaqi 635, dan dishahihkan al-Albani dalam Shahihul Jami’, no. 6470) Baca: Keutamaan Membaca Surat al-Kahfi di Hari Jumat Bila kita perhatikan, hadits di atas menunjukkan bawa ketentuan membacanya tidak ditentukan, tidak mengharuskan dibaca sekaligus dalam satu waktu, karenanya selama dibaca pada waktunya, baik pada malam jumat atau pada hari jumat, maka insyaallah diperbolehkan dan berharap dapat mendapatkan keutamaan sebagaimana yang di sebutkan. Sebagaimana yang di sebutkan di dalam islamweb no fatwa 135507,” وظاهر الأحاديث أنه لا يلزم أن تقرأ السورة دفعة واحدة، بل لو فرق قراءتها في أثناء اليوم حصل المأمور به، إذ المقصود أن تقع قراءة جميع السورة في ذلك الوقت المخصوص، وكذا لو قرأها في الصلاة فلا بأس، إذ المقصود من قراءتها يحصل بذلك، وإن كانت المبادرة إلى قراءتها وعدم تأخير قراءة شيء منها أولى مسارعة إلى فعل الخير وامتثالاً لقوله تعالى (فاستقبوا الخيرات)، وقد نص كثير من الشافعية على أن قراءتها بعد الصبح آكد، وفي حاشية الرملي: وقال الأذرعي: الظاهر أن المبادرة إلى قراءتها أولى مسارعة وأمانا من الإهمال، وقراءاتها بالنهار آكد كما قاله جماعة. انتهى. والله أعلم “dan dhahirnya dari hadits-hadits tersebut tidaklah mengharuskan dibaca sekaligus, bahkan bila dibaca terpisah di siang hari ( jumat) maka perintah telah di jalankan, karena maksud perintah untuk membaca seluruh surat di waktu khusus tersebut telah dijalankan. Walaupun tentunya menyegerakan membaca dan tidak menundanya itu lebih baik dalam menunaikan kebaikan dan juga telah sesuai dengan apa yang difirmankan oleh Allah ta’ala “maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan”.… . Banyak dari ulama Syafi’i yang menyatakan bahwa membacanya setelah shalat subuh lebih baik. Disebutkan dalam catatan kaki ar-Ramli,” bahwa berkata Imam Auza’i ,” dhahirnya menyegerakan dalam membacanya lebih baik, lebih cepat dan lebih selamat dari kelalaian. Sebagian kelompok lainnya mengatakan bahwa membacanya di siang hari lebih utama.” https://www.islamweb.net/ar/fatwa/135507/ Baca juga: Keutamaan 10 Ayat Pertama dan Terakhir Surat al-Kahfi Dijawab dengan ringkas oleh: USTADZ MU’TASIM, Lc. MA. حفظه الله https://bimbinganislam.com/hukum-mencicil-bacaan-surat-al-kahfi-di-hari-jumat/
|
Siapa Al-Gharimin yang Berhak Mendapat Zakat?
Siapa Al-Gharimin yang Berhak Mendapat Zakat? Mohon jelaskan batasan orang yang berutang yang berhak menerima zakat? Trim’s Jawab: Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du, Allah menyebutkan daftar orang yang berhak mendapatkan zakat, إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah.” (QS. at-Taubah: 60) Salah satu diantara orang yang berhak menerima zakat adalah al-Gharimin. Gharim artinya utang atau kewajiban harta yang harus ditunaikan, seperti diyat atau denda. Sementara istilah gharim dalam perdagangan berarti orang yang rugi ketika berdagang. (Mu’jam al-Wasith). al-Hafidz Ibnu Katsir menyebutkan beberapa kondisi orang Gharim berikut dalilnya, Pertama, orang yang menanggung biaya karena menyelesaikan sengketa, sehingga menghabiskan hartanya. Orang semacam ini, berhak mendapatkan zakat. Dalilnya adalah hadis Qabishah bin Mukhariq al-Hilaly, Saya menanggung utang, lalu saya mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta bantuan. “Tunggu, sampai ada zakat, biar saya perintahkan untuk diberikan kepadamu.” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian ketika datang dana zakat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, يَا قَبِيصَةُ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لاَ تَحِلُّ إِلاَّ لأَحَدِ ثَلاَثَةٍ رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ Wahai Qabishah, meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari 3 orang, (diantaranya): Orang yang menanggung beban untuk menyelesaikan sengketa, maka boleh baginya meminta-minta, sampai bisa melunasinya, kemudian tidak boleh lagi meminta. (HR. Muslim 2451 dan Abu Daud 1642) Kedua, orang yang bangkrut karena bisnis sehingga terllilit utang Sahabat Abu Said radhiyallahu ‘anhu menceritakan, di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada seorang pedagang yang mengalami musibah, rusak barang dagangannya. Akhirnya dia menanggung banyak utang. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan kepada para sahabat, “Berikan zakat untuknya.” Banyak sahabat yang memberikan zakatnya, namun itu belum menutupi kewajiban utangnya. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta kepada mereka yang mengutanginya, خُذُوا مَا وَجَدْتُمْ وَلَيْسَ لَكُمْ إِلاَّ ذَلِكَ “Ambillah harta yang ada di orang itu, dan kalian tidak memiliki hak untuk mengambil selain itu.” (HR. Muslim 4064, Abu Daud 3471 dan yang lainnya). Ketiga, orang yang taubat dari maksiat dan itu menyebabkan dia harus terlilit banyak utang. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/168) Lajnah Daimah menambahkan, termasuk al-Gharimin yang berhak mendapat zakat adalah orang yang berutang untuk menafkahi kebutuhan keluarganya, baik kebutuhan pangan, sandang, maupun papan. Dalam salah satu fatwanya dinyatakan, إذا استدان إنسان مبلغاً مضطراً إليه ؛ لبناء بيت لسكناه ، أو لشراء ملابس مناسبة ، أو لمن تلزمه نفقته ؛ كأبيه ولأولاده أو زوجته ، أو سيارة يكد ( يعمل ) عليها لينفق من كسبه منها على نفسه، ومن تلزمه نفقته مثلا، وليس عنده مايسدد به الدين : استحق أن يُعطى من مال الزكاة ما يستعين به على قضاء دينه Jika ada orang yang berutang karena terpaksa, untuk membangun rumah tinggal, atau membeli pakaian layak pakai, atau menanggung orang yang wajib dia nafkahi, seperti bapaknya, anaknya, atau istrinya. Atau untuk membeli mobil yang dia gunakan untuk bekerja, sehingga bisa menafkahi dirinya dan keluarganya, sementara dia tidak memiliki harta untuk melunasi utangnya, maka dia berhak diberi harta zakat, yang bisa membantu untuk melunasi utangnya. (Fatwa Lajnah Daimah, 10/9). Allahu a’lam. Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com) https://konsultasisyariah.com/27777-siapa-al-gharimin-yang-berhak-mendapat-zakat.html
|
Sahabat Nabi Muhammad Dalam Ideologi Syi’ah
SAHABAT NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM DALAM IDIOLOGI SYI’AH Oleh Ustadz Dr Muhammad Arifin Badri Lc, MA Sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Adalah Generasi Pilihan Sebelum kita menyimak kedudukan dan keadaan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pandangan Syi’ah, terlebih dahulu, kami paparkan pandangan Ahlussunnah wal Jamâ’ah tentang hal itu. Sahabat para nabi dan rasul adalah manusia-manusia pilihan. Mereka dipilih Allâh Subhanahu wa Ta’ala untuk meneladani dan membela dakwah para nabi dari hambatan dan rintangan. Pengorbanan mereka tidak dapat diragukan lagi. Sehingga tidak mengherankan bila mereka menjadi generasi paling unggul pada setiap masa. Sahabat Nabi Nuh Alaihissallam yang ikut serta dalam perahunya adalah generasi paling unggul dari umatnya. Sahabat Nabi Musa Alaihissallam yang ikut serta bersama beliau Alaihissallam ketika menyeberangi laut Merah adalah generasi paling unggul dari umatnya. Sahabat Nabi ‘Isa Alaihisallam yang dengan gagah membelanya dari makar musuh-musuh adalah generasi paling istimewa dari umatnya. Demikian pula halnya dengan sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mereka adalah generasi paling unggul dari umat Islam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : مَا مِنْ نَبيٍّ بَعَثَهُ اللهُ فِي أمَّةٍ قَبْلِي إلاَّ كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ وَأصْحَابٌ يَأخُذُونَ بِسنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ ، ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لاَ يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لا يُؤْمَرونَ ، فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلسَانِهِ فَهُوَ مُؤمِنٌ , وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلبِهِ فَهُوَ مُؤمِنٌ ، وَلَيسَ وَرَاءَ ذلِكَ مِنَ الإيْمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ Tidak ada seorang nabipun yang diutus kepada suatu umat sebelumku, kecuali ia memiliki para pengikut dan sahabat yang setia, yang mengikuti ajarannya dan mematuhi perintahnya. Kemudian datang setelah mereka itu suatu generasi yang mengatakan sesuatu yang tidak mereka lakukan, dan melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan. Barangsiapa memerangi mereka dengan tangannya, maka dia itu orang yang beriman, dan barangsiapa memerangi mereka dengan lisannya maka dia itu orang yang beriman, dan barangsiapa memerangi mereka dengan hatinya maka dia itu orang yang beriman. Setelah itu, tidak ada keimanan walau hanya sebesar biji sawipun. [HR Muslim] Bahkan sahabat-sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendapat gelar sangat istimewa. Sahabat Nabi Muhammad telah dinyatakan oleh Allâh Azza wa Jalla sebagai umat terbaik yang pernah terlahir ke dunia. كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar serta beriman kepada Allah. [Ali Imran/3:110]. Sejarah umat Islam telah membuktikan hal ini. Para sahabat Nabi telah mengorbankan segala sesuatu yang mereka miliki guna mendakwahkan dan menyebarkan agama Islam. Dengan hati tulus dan amal shalih, mereka berhasil mewujudkan pertolongan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam dunia nyata. Walaupun berjumlah sedikit dan dengan perlengkapan seadanya, mereka berhasil menundukkan dunia dan menanamkan agama Islam di berbagai penjuru dunia. Semua itu berhasil mereka capai tidak lebih dari tiga puluh tahun. Waktu yang sangat singkat bila dibanding dengan keberhasilan yang demikian luas dan cemerlang. Berkat keikhlasan dan perjuangan mereka yang demikian besar, Allâh Subhanahu wa Ta’ala memberikan mereka balasan yang setimpal. Amalan mereka dilipatgandakan pahalanya, sampai-sampai tidak akan pernah ada seseorang selain mereka yang akan dapat menyamai kedudukan mereka di sisi Allâh. لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِي، فَلَوْا أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، ما بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ ولا نَصِيفَهُ Janganlah kamu mencela sahabatku, karena andai kamu menginfakkan emas sebesar Gunung Uhud, niscaya pahalanya tidak akan menyamai pahala sedekah mereka yang berupa bahan makanan dan hanya sejumlah dua
|
Qadha Shalat Sunah Fajar Setelah Sholat Subuh
Qadha Shalat Sunah Fajar Setelah Sholat Subuh Mas mw tanya ya, Bolehkan kita melakukan shalat qobla subuh setelah shalat subuh? Dari Alvian. Jawaban : Bismillah. Washolaatu was Salam ‘ala Rasulillah, wa ba’d. Sholat sunah fajar memiliki keutamaan yang besar. Dalam hadis diterangkan bahwa pahala sholat ini lebih baik daripada dunia seisinya. Wajar bila seorang muslim merasa rugi bila terluputkan dari dua rakaat ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا “Dua raka’at fajar (sholat qobliyah subuh) itu lebih baik dari dunia dan seisinya.” (HR. Muslim, dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha). Namun tidak perlu berkecil hati saat terlewat melakukannya sebelum sholat subuh. Karena masih ada kesempatan untuk melakukan shalat sunah fajar meskipun telah lewat dari waktu asalnya (yakni, sebelum shalat subuh setelah terbit fajar shodiq). Bagi yang tidak bisa melakukan sholat sunah fajar sebelum subuh, maka bisa menqada’nya pada dua waktu berikut : [1] Setelah melakukan sholat subuh. [2] Setelah terbit matahari. Sebagaimana keterangan dalam hadis berikut : Dari Muhammad bin Ibrahim, dari kekeknya yang bernama Qois beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar (dari rumah beliau) lalu iqamah dikumandangkan. Akupun melakukan shalat subuh bersama beliau. Setelah itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berlalu dan mendapatiku sedang shalat. Beliau lantas bersabda, َ مَهْلًا يَا قَيْسُ أَصَلَاتَانِ مَعًا ؟ “Tunggu ya Qois! Apakah kamu mengerjakan dua shalat bersama kami?” Aku lalu menjawab, “Aku belum mengerjakan dua rakaat sebelum fajar ya Rasulullah.” Lalu beliau bersabda, فَلَا إِذَنْ “Kalau begitu silahkan.” (HR. Tirmidzi ). Hadis ini menerangkan bolehnya menqada’ sholat sunah fajar setelah melakukan sholat subuh. Seperti yang dilakukan oleh sahabat Qois, dan Nabi mempersilakan beliau. Kemudian hadis lain yang menerangkan boleh menqada’nya setelah terbit fajar adalah berikut. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, نام عن ركعتي الفجر فقضاهما بعد ما طلعت الشمس “Siapa yg tertidur dari melakukan dua raka’at fajar, maka hendaklah ia menqada’ nya setelah terbit matahari.” (HR. Ibnu Majah, dinilai shahih oleh Syaikh Albani). Namun yang lebih afdol ditunda sampai terbit matahari. Karena menqada’nya setelah terbit matahari berdasarkan pada perintah langsung dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Adapun melakukannya setelah sholat subuh, hanya berdasar pada persetujuan (taqrir) beliau (sebagaimana keterangan dalam dua hadis di atas). Sementara dalil yang bersumber dari perintah langsung dari Nabi, lebih kuat daripada yang hanya berisi persetujuan beliau. Syaikh Ibnu Baz rahimahullah menfatwakan, إذا لم يتيسر للمسلم أداء سنة الفجر قبل الصلاة ، فإنه يخير بين أدائها بعد الصلاة أو تأجيلها إلى ما بعد ارتفاع الشمس ، لأن السنة قد ثبتت عن النبي صلى الله عليه وسلم بالأمرين جميعا، لكن تأجيلها أفضل إلى ما بعد ارتفاع الشمس لأمر النبي صلى الله عليه وسلم بذلك ، أما فعلها بعد الصلاة فقد ثبت من تقريره عليه الصلاة والسلام ما يدل على ذلك. “Bila seorang muslim terluputkan dari melakukan sunah fajar sebelum sholat subuh, maka dia boleh melakukannya setelah setelah sholat atau menundanya sampai terbit matahari. Dua pilihan ini ada dalilnya dari hadis Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Akantetapi menundanya sampai terbit matahari itu lebih afdol. Berdasarkan pada perintah Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk melakukannya pada waktu tersebut. Adapun melakukannya setelah sholat subuh, itu berdasarkan persetujuan beliau ‘alaisshalatu was salam.” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Baz 11/373). Wallahu’alam bis showab. Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshari https://konsultasisyariah.com/27692-qadha-shalat-sunah-fajar-setelah-sholat-subuh.html
|
Mewaspadai Celaan Agama Syi’ah Terhadap Sahabat
MEWASPADAI CELAAN AGAMA SYI’AH TERHADAP SAHABAT NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM Oleh Ustadz Dr Muhammad Arifin Badri Lc, MA Jika membaca berbagai nukilan dari para pemuka agama Syi’ah, dapat diketahui beberapa hal yang menunjukkan dan mendorong mereka membenci para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , terutama tiga khulafâ’ ar-râsyidîn, yaitu Abu Bakr ash-Shiddiq, Umar bin Khaththab, dan Ustman bin ‘Affan Radhiyallahu anhum. Untuk mengetahui jawaban pertanyaan ini, saya mengajak Anda untuk merenungkan firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala berikut. مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ ۖ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا ۖ سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ۚ ذَٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ ۚ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَىٰ عَلَىٰ سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ ۗ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا Muhammad itu adalah utusan Allâh, dan orang-orang yang bersama dia (sahabat-sahabatnya) adalah orang-orang yang keras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih-sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allâh dan keridhaan-Nya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allâh hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allâh menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih diantara mereka ampunan dan pahala yang besar.[al-Fat-h/48:29]. Pada suatu hari ada seseorang menemui Imam Mâlik bin Anas rahimahullah, lalu tanpa rasa sungkan orang itu mencela para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan beliau rahimahullah. Mendengar celaan orang tersebut terhadap sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka Imam Mâlik spontan membaca ayat di atas, lalu beliau rahimahullah berkata: مَنْ أَصْبَحَ وَفِي قَلْبِهِ غَيْظٌ عَلَى أَصْحَابِ محمَّد عليه السَّلام، فَقَدْ أَصَابَتْهُ الآيَةُ Barangsiapa yang dalam hatinya terdapat kebencian kepada sahabat-sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berarti ia telah terkena vonis ayat ini.[1] Abu Zur’ah ar-Râzi rahimahullah mengungkapkan alasan yang mendorong agama Syi’ah dan lainnya yang dengan getol mencela sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Bila engkau menyaksikan seseorang mencela salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ketahuilah bahwa dia itu kaum zindiq karena kita meyakini bahwa Rasûlullâh adalah benar, dan al-Qur`ân juga benar, sedangkan yang menyampaikan al-Qur`ân dan as-Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita adalah para sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dengan demikian, orang yang mencela sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berupaya menggugurkan para saksi kita, untuk selanjutnya menggugurkan al-Qur`ân dan as-Sunnah. Bila demikian adanya, maka orang itulah yang lebih pantas untuk dicela, karena sebenarnya ia adalah zindiq (kafir).[2] Subhanallâh, betapa buruk maksud yang mereka pendam di balik upaya mencela para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Oleh karena itu, celaan terhadap sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini bukan lagi merupakan masalah sepele, sehingga tidak boleh dilupakan dan terlalaikan, hanya lantaran demi mewujudkan impian persatuan antara Ahlis-Sunnah dengan Syi’ah, untuk selanjutnya bersama-sama menghadapi Zionis Yahudi dan Salibis para pemuja salib. Keimanan, perjuangan dan pengorbanan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu sangatlah besar, sehingga Allâh Subhanahu wa Ta’ala mencintai mereka dan melipatgandakan pahala untuk mereka. Boleh jadi, diantara cara Allâh Subhanahu wa T
|
1 - 20 з 55826